Anda Suka Dipuji dan Disanjung?

Ilustrasi Pujian dan Sanjungan, from google image

Pujian dan sanjungan adalah bentuk apresiasi yang diberikan oleh orang lain kepada kita atas sesuatu yang dinilainya layak dan pantas untuk dipuji dan disanjung, seperti apresiasi atas sebuah prestasi, kebaikan dan lain-lain.

Sesungguhnya tahukah anda bahwa pujian dan sanjungan itu dapat diibaratkan seperti pisau bermata dua, artinya dapat memberikan efek positive dan dapat sebaliknya memberikan efek negative.

Mengapa kali ini saya menuliskan thema ‘pujian dan sanjungan’ ini, alasannya karena saya mendapat ‘teguran’ sedikit dari pimpinanku di klinik yaitu dokter kami atas sebuah tulisanku yang telah saya postingkan dengan judul “Sebuah Keajaiban: Ketika Buah Hati 6 Bulan Dalam Kandungan, Mengingatkan Ayahnya dan Dokter Melalui Sebuah Naluri”.

Pada tulisan artikel itu sesungguhnya memang ada sedikit pujian dan sanjungan yang saya tujukan atas sebuah kebaikan seorang dokter kepada pasiennya, sama sekali tidak ada tujuan untuk menjilat atau mencari muka kepada pimpinan, karena itu murni keluar dari hati nuraniku yang melihat secara langsung semua kejadian yang terjadi antara dokter dan pasiennya.

Awalnya saya bingung mengapa sampai dokter harus sedikit menegurku, bukan karena tulisanku salah atau lainnya, tapi beliau hanya ingin menjelaskan bahwa pujian dan sanjungan itu layak diberikan selama masih dalam koridor yang wajar, tidak berlebihan dan sebagainya.

Sesungguhnya pujian dan sanjunganku juga masih dalam batas yang sangat wajar tapi mengapa dokterku masih menegurku juga?

Mau tahu alasannya?

Sebelum saya tuliskan alasannya, ijinkan saya menceritakan sebuah ilustrasi yang kudapatkan dari dokterku atas sebuah pujian dan sanjungan ini.

Begini ceritanya;

Ada seorang penari pemula yang baru saja meniti kariernya di dunia tari dan bertepatan saat itu ada sebuah event ulang tahun seorang pembesar yang mengadakan acara perayaan yang salah satu acaranya diisi dengan tarian.

Dalam pentas tari itu semua penonton melihat dengan seksama termasuk pembesar yang sangat bijak yang mengadakan pergelaran acara tersebut.

Sang penari saat itu berusaha menari dengan sebaik-baiknya, namun belum lama dia menari sekitar 3 menit, tiba-tiba pembesar yang bijak itu berdiri dan meninggalkan ruangan tanpa sedikitpun meninggalkan pesan dan lainnya.

Spontan saja sang penari itu merasa seperti kehilangan arah dan merasa ada yang kurang dalam penampilannya, karena pemilik acara pergelaran telah meninggalkan ruangan tanpa alasan yang jelas.

Sejak saat itu sang penari ini memutuskan untuk tidak meneruskan kariernya dibidang seni tari itu.

20 tahun sudah berlalu dan takdir telah mempertemukan kembali sang pembesar bijak itu dengan sang penari pada sebuah event ulang tahun kawedanan daerah dimana sang penari dan sang pembesar bermukim.

Saat acara perayaan itu sang penari mengisi sendra tari yang sudah diatur oleh panitia, dan sang pembesar yang bijak itupun menontonnya dengan seksama hingga akhir tarian dan begitu tarian usai sang pembesar memberikan tepuk tangan yang sangat semangat diikuti oleh penonton lainnya sambil berdiri.

Alangkah terkejutnya sang penari menerima penghargaan dan apresiasi yang begitu antusias dari sang pembesar dan seluruh penonton.

Seusai acara, sang penari memberanikan diri menemui pembesar yang sangat bijak itu di belakang panggung, dan langsung bertanya, “Wahai bapak…, boleh saya bertanya?”

“Boleh saja”, jawab sang pembesar dengan sangat tenang.

“Bapak ingat 20 tahun yang lalu saya juga menari di panggung dan bapak juga menonton tarian saya, namun tak lama saat itu bapak meninggalkan acara tanpa pesan sepatahpun?”

“Ya…, ya…aku ingat”, jawab sang pembesar bijak.

“Mengapa saat itu bapak beranjak pergi meninggalkan acara?, apakah tarian saya sangat buruk?”

“Oh tidak…tidak sama sekali, itu adalah tarian yang sangat bagus yang pernah saya lihat”.

“Tapi mengapa saat itu bapak pergi dan meninggalkan ruangan dengan mendadak tanpa sepatah pesan apapun?”.

“Tahukan sejak saat itu saya memutuskan untuk berhenti menari, karena saya merasa kecewa dan menyesal, padahal saya sudah berusaha menampilkan tarian sebaik mungkin yang bisa saya tampilkan”.

“Dan akhirnya nasib saya saat ini saat ini hanya sebagai seorang pelayan restoran, bukankah bapak sudah menghancurkan harapan dan impian saya sebagai penari profesional yang mungkin saat ini sulah melanglang keseluruh negeri”.

“Oh iya aku ingat, saat itu memang aku meninggalkan ruangan sebelum tarianmu usai, karena saat itu aku sangat lelah sehabis menyelesaikan semua pekerjaanku, tapi tahukah saat itu aku meninggalkan sebuah kartu nama kepada pemimpin acara berharap kamu akan segera menghubungi saya”.

“Dan ingat bukankan untuk menikmati sebuah anggur aku tak perlu meminumnya hingga 1 barrel, cukup segelas kecil saja, makanya aku menilai tarianmu saat itu sangat bagus, namun tak perlu aku menikmatinya hingga akhir tarianmu”.

“Tapi itu sudah berlalu bapak, dan tidak penting lagi bagi saya, karena bila saat itu bapak memberikan penghargaan seperti hari ini dengan tepuk tangan yang sangat bersemangat dan meriah, mungkin saya sudah menjadi penari terkena”l.

“Oh…itulah masalahnya, mengapa kamu sangat bergantung dengan pujian dan sanjungan orang lain dalam meniti masa depanmu dengan sekian besar impian dan harapan yang sangat ingin kamu raih, ingat sesungguhnya pujian dan sanjungan itu bagai pisau bermata dua, bisa memberi kekuatan dan motivasi pada dirimu dan bisa juga melemahkan semangatmu dalam meraih semua impian dan harapanmu”.

“Kebanyakan pujian dan sanjungan itu akan melemahkan seseorang karena telah membuat orang itu berpuas diri, jadi tidak ada energi lagi untuk meraih sesuatu yang lebih besar”.

“Dan saat itu aku memilih mengacuhkan kamu dengan harapan kamu mempunyai semangat yang besar untuk meraih semua impian dan harapanmu itu”.

“Lagi pula seharusnya kamu fokus saja dengan karier tarimu tak usah kamu berharap pujian dan sanjungan dari orang lain, kalaupun saat itu kamu kecewa dan menyesal dengan semua sikapku yang telah meninggalkan tarianmu, kamu bisa menebusnya dengan latihan tari lebih giat lagi dan terus latihan sehingga tarianmu akan semakin baik dari hari ke hari, dan rasa kecewa dan penyesalanmu itu akan segera sirna”.

“Namun setelah kamu mengetahui alasanku meninggalkan tarianmu tanpa pujian dan sanjungan, maka rasa kecewa dan penyesalanmu itu tidak akan hilang sepanjang hidupmu”.

Saya terperangah mendengarkan cerita dokter berupa ilustrasinya itu, bahwa itulah pesan dan nasehat yang ingin disampaikan oleh dokter, bahwa jangan kita berharap lebih dengan pujian dan sanjungan dari apa yang telah kita lakukan, fokus saja dengan apa yang kita lakukan, jangan menggantungkan harapan pada sebuah pujian dan sanjungan dalam meraih semua impian yang kamu ingin raih.

Begitupun kalau kita memiliki kesenangan menulis seperti di Kompasiana ini, tulis saja apa yang ingin kita tulis, tanpa mengharap harus ada yang mau membaca atau tidak, ada yang memuji atau tidak, ada yang mau memberi komentar atau tidak, fokus saja dengan tujuan kita menulis selama bisa memberikan manfaat dan kebaikan bagi semua pembaca yang membaca tulisan kita itu.

Pantas saja dokter selalu berhasil dalam semua impian yang beliau kejar, karena salah satunya alasan beliau menegurku, agar jangan terlalu memuji dan menyanjung sebuah kebaikan.

Salam pesona, Titi.


Tags: pujian, sanjungan --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Pesan dan Komentar Anda di Sini