Pawang Hujan di Teater Terbuka Bernama Sosial Media (1)

Sejujurnya, saya tidak begitu paham mengenai konsep ‘rainmaker (pawang hujan)’ ini, hingga suatu waktu saya diberitahu oleh teman bahwa Akademi Berbagi akan mengadakan kegiatan ‘kuliah singkat’ yang biasa diselenggarakan setiap hari Kamis, dan tema yang diangkat kali ini adalah mengenai ‘rainmaker’ di media sosial. Tidak tanggung-tanggung, tokoh yang digandeng kali ini adalah Wicaksono, yang di twitterland dikenal dengan nama Ndorokakung. Tentunya saya langsung mendaftar untuk berpartisipasi di kelas ini.

Kegiatan ‘perkuliahan’ ini diadakan di kantor Aidil Akbar, salah satu penasehat keuangan terkemuka yang bertempat di Jalan Senopati Raya 74. Setelah jam kerja, saya bersama teman-teman langsung menuju ke Senopati Raya 74, tentunya kami harus bergegas, karena perkuliahan akan dimulai pukul 18.30 wib.  Kami tiba tepat waktu dan langsung menuju ruangan kelas yang berada dilantai 2, ternyata perkuliahan baru akan dimulai setengah jam kemudian, yaitu pukul 19.00 wib.

Acara dibuka dengan kata sambutan dari perwakilan Akademi Berbagi, dan barulah kemudian Ndorokakung memulai perkuliahan. Mengapa saya sebut perkuliahan, karena suasana dan tata ruangan memang mengingatkan jaman kuliah dulu, dengan bangku meja, white board dan tentunya infocus. Ndorokakung sendiri tampak sedikit canggung dengan suasana ruangan “Saya sendiri tidak terbiasa dengan kondisi begini, saya lebih terbiasa duduk lesehan dengan suasana akrab” ujar Ndorokakung disela-sela sesi awal presentasinya.

Judul presentasi Ndorokakung kali ini adalah “Menjadi Rainmaker di Sosial Media”, diawali dengan penjelasan apakah ‘Rainmaker’ itu, dan bagaimana ciri-cirinya. Menurut Ndorokakung, rainmaker atau buzzer atau influencer dapat dikenali dari follower-nya. Ada 2 ciri yang menunjukkan seseorang itu rainmaker atau bukan, pertama adalah jumlah follower dan yang kedua adalah jenis follower. Menurutnya, tidak ada patokan pasti berapa jumlah follower yang dibutuhkan untuk menjadi seorang rainmaker, tetapi ‘siapa’ yang memfollow-lah yang bisa menjadi patokan seseorang itu rainmaker atau bukan. Dengan kata lain, kualitas follower juga menentukan seseorang itu ‘rainmaker’ atau bukan.

Lalu apakah rainmaker itu? Ndorokakung menjelaskan bahwa rainmaker adalah orang-orang yang dianggap mempunyai pengaruh sehingga dapat menyebabkan orang lain ‘bergerak’. Bergerak disini maksudnya berbuat sesuatu baik secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan saran-saran atau kampanye yang disampaikan oleh para rainmaker. Selain itu Ndorokakung juga mengaitkan dengan Prinsip (Hukum) Paretto, yang menurutnya merupakan hukum yang lazim digunakan dalam bidang ekonomi dan statistika.

Saat perkuliahan tersebut saya menangka bahwa Hukum Paretto terjadi (berlaku) juga di dunia sosial media. Jadi dari total pengguna sosial media, sebesar 20% nya adalah rainmaker, dan sisanya yang 80% adalah pengguna biasa. Tak hanya itu, Ndorokakung juga menggunakan analogi lain, yaitu analogi “teater terbuka”. Dan dengan mengaitkan dengan hukum Paretto, hanya ada 20% yang akan bermain di panggung “teater terbuka” tersebut.

Sekarang, mari kita kupas dulu apa itu Hukum Paretto. Hukum Paretto ini dikenal juga sebagai aturan 80/20, pada awalnya di termuka oleh Vilfredo Paretto pada tahun 1906. Saat itu dia mengamati 80% kepemilikan tanah di Italia hanya dimiliki oleh 20% dari populasi di daerah tersebut. Tentunya, pada saat itu, pemilik tanah hanya orang-orang yang berkuasa, kaya atau mempunyai pengaruh. Esensi yang diajukan dalam aplikasi hukum pareto adalah 80/20, dalam studinya Pareto menyampaikan dalam suatu formula matematis mengenai ketidakmerataan distribusi dari kesejahteraan di negaranya (Italia), melalui formula matematis tersebut Pareto meng-konklusikan bahwa hanya 20 % dari masyarakat yang menguasai 80% kesejahteraan, artinya hampir mayoritas atau 80% masyarakat menikmati sisa 20% hasil ekonomi atau kesejahteraan.

Kemudian prinsip ini dikembangkan oleh Juran untuk aplikasi manajemen kualitas (quality management), menjadi suatu konklusi bahwa bahwa 20% sebab menghasilkan 80% problema, atau 20% tanggung jawab menghasilkan 80% hasil, namun prinsip inipun adalah prinsip yang dinamins dimana prinsip cateris parebus juga berlaku (berlaku untuk kondisi-kondisi tertentu). Lalu bagaimana dengan media sosial dengan teater terbuka-nya?

Saya sendiri belum menemukan data yang yang mendukung hipotesa-nya Ndorokakung, tapi mari kita memakai hipotesa 80 – 20  tersebut di media sosial, kita ambil contoh di twitter. Berdasarkan data salingsilang.com pada Januari 2011 pengguna twitter di Indonesia adalah 4,88 juta akun. Kita berasumsi hanya 80% dari akun tersebut yang aktif. Maka dari 4 juta pengguna twitter di Indonesia  20% nya adalah rainmaker. Berarti sekitar 800 ribu orang Indonesia adalah rainmaker. Nah, angka yang sangat besar bukan? Jika memang rainmaker ada 800 ribu berarti tiap-tiap rainmaker hanya mempunyai 5 follower yang unik(dan tentunya bukan rainmaker), artinya 5 follower tersebut hanya memfollow satu rainmaker, tidak memfollow yang lain.

Tapi ingat, Ndorokakung juga menganalogikan media sosial sebagai teater terbuka, jadi media sosial adalah suatu ruang yang terdiri dari pemain, panggung dan kursi/tempat penonton. Jika kita menganggap teater terbuka adalah seperti amphiteater, bisa dikatakan, panggung teater luasnya kurang lebih 20% dan sisanya 80% adalah kursi penonton. Dan para ‘rainmaker’ ini adalah mereka yang ber’kicau’ diatas panggung, tapi tidak hanya itu, para ‘penonton’ juga saling berkicau dengan ‘penonton’ lainnya maupun dengan ‘aktor (baca : rainmaker)’ di panggung. Dan menurut Ndorokakung, pada akhirnya hanya akan ada 20% panggung yang riuh (banyak penonton).

Lalu, apakah dua paragraf diatas sesuai dengan hukum Paretto? Jika memperhatikan pengertian Hukum Paretto diatas, dapat terlihat ada 2 domain yang berbeda. Misalkan pada kalimat “saat itu dia mengamati 80% kepemilikan tanah di Italia hanya dimiliki oleh 20% dari populasi di daerah tersebut”, perhatikan juga kalimat berikutnya …menjadi suatu konklusi bahwa bahwa 20% sebab menghasilkan 80% problema, atau 20% tanggung jawab menghasilkan 80% hasil..

Jadi bila kita simpulkan 80% kepemilikan ruang (teater terbuka) di media sosial hanya dimiliki oleh 20% populasi di media sosial tersebut (bila dibalik 20% populasi di media sosial menghasilkan 80% kepemilikan ruang (teater terbuka)). Bagaimana menurut Anda? Seperti yang sering diulangi-ulangi oleh Ndorokakung pada “kuliah terbuka” ; Anda boleh setuju, boleh tidak. ?

Sekarang mari kita ulangi sekali lagi cerita diatas. Begitu mendengar Ndorokakung akan memberi “kuliah” di Akademi Berbagi, saya, teman saya, dan tentunya teman-teman lain yang hadir di kuliah tersebut adalah “korban-korban” dari rainmaker. Sebagian dari kami dengan sukarela menambah “jam kerja” kami untuk hadir di acara tersebut, dan tentunya kami semua adalah yang 80% populasi dari Hukum Paretto. Pada saat Anda membaca tulisan ini Anda bisa menjadi bagian yang 80% itu, dan jika anda menyebarkan tulisan ini, mungkin membuat orang lain menjadi bagian yang 80% itu…mungkin Anda yang 20%, mungkin Anda bisa menjadi yang 20% itu…(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Pesan dan Komentar Anda di Sini