Cornelia Agatha dan Teater Koma: Perkawinan Tak Bahagia Pasar vs Idealisme?

Nihil

Minggu lalu saya mengajak anak dan istri saya nonton pertunjukan  ”Antigoneo” yang dibesut oleh Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Waktu beli tiket (3 hari menjelang pertunjukan) saya sempat ‘khawatir’, pertunjukan seperti ini banyak yang nonton gak ya? Selain tidak termasuk ‘budaya pop’, harga tiket untuk pertunjukan ini pun relatif mahal, setidaknya kalau dibandingkan dengan tiket bioskop (sekitar 4-5 kali lipat).

Ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Datang di GKJ sekitar 15 menit sebelum pertunjukan, kami tidak kebagian tempat parkir di Gedung GKJ. Kami diarahkan untuk parkir di Kantor Pos Jakarta Pusat yang letaknya tepat di sebelah GKJ.

Karena belum sempat makan malam, kami beli minuman dan beberapa potong camilan (note: Kebiasaan nonton bioskop…). Ternyata makanan dan minuman kami kena ‘razia di pintu masuk’, harus dimakan di luar ruang pertunjukan, atau dititipkan kepada petugas (juga di luar ruangan).  Saya justru senang, karena mestinya pertunjukan tidak ‘diganggu’ dengan aktivitas makan, alias kalau lapar silakan makan dulu sebelum masuk ruang pertunjukan.

Masuk ke ruangan, saya kagum, ternyata ‘full house’! Nyaris tak ada tempat duduk kosong.  Entah karena waktu itu kebetulan malam minggu, atau memang sebelumnya juga selalu penuh (note: pertunjukan sudah mulai digelar sejak seminggu sebelumnya, setiap hari). Semoga yang terakhir yang benar..

Dari awal saya sudah tahu, bahwa Cornelia Agatha, yang notabene merupakan ‘bintang pop’, akan tampil.  Dari berbagai media massa saya juga tahu bahwa beberapa tahun terakhir ini  Cornelia mulai belajar dan terlibat dalam teater.

Tentu saja saya tidak tahu, mengapa Cornelia tertarik untuk ‘masuk’ ke dunia teater.  Dan tentu saja saya tidak tahu apa latar belakang Teater Koma menerima kehadiran Cornelia.  Tidak tertutup kemungkinan, terjadi semacam ‘perkawinan’ atau ‘kompromi’ antara idealisme seni pertunjukan sebuah kelompok teater dengan budaya pop. Mungkin kehadiran Cornelia dianggap dapat mendongkrak popularitas (baca: minat penonton) pertunjukan Teater Koma.

Oleh karena itu, saya jadi agak penasaran, bagaimana rupanya penampilan Cornelia –sekali lagi: yang notabene merupakan ‘bintang pop’ — bersama sebuah kelompok teater (dalam hal ini: Teater Koma) yang biasanya dikonotasikan sebagai bagian dari idealisme seni pertunjukan.

Selesai pertunjukan, saya mendiskusikan pertunjukan itu dengan anak saya (sudah remaja), juga dengan  istri saya (tentu saja sudah tidak remaja..).  Ternyata kami punya opini yang sama, yakni ‘kecewa’ dengan penampilan Cornelia. Bahasa tubuhnya tidak ‘natural’, kaku, mirip dengan anak-anak yang sedang belajar teater.  Suaranya juga terkesan dibuat-buat agar terdengar ‘bulat’, tapi malah –sekali lagi– tidak natural.  Jelas dia kalah kelas dengan semua pemain lain yang tampil malam itu.  Dalam beberapa kesempatan, lengkingan suaranya malah terdengar seperti tokoh Sarah (yang juga diperankannya)  sedang memarahi  Roy dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan.

Kalau benar dugaan saya, bahwa keterlibatan Cornelia dalam Teater Koma adalah ‘perkawinan’ antara idealisme dengan pasar, maka saya khawatir bahwa itu merupakan perkawinan yang tidak bahagia..

Tentu saja semua terserah pada Cornelia (dan juga ‘bintang pop’ lain, jika ada) dan Teater Koma (dan juga teater-teater lain, jika ada yg melakukan langkah serupa).  Tapi ada baiknya mereka mendengar berbagai masukan dari ‘orang luar’, apakah ‘perkawinan’ itu memberikan nilai tambah bagi keduanya, atau justru sebaliknya yang terjadi.

Yang pasti, sebuah  kelompok teater yang kental dengan idealisme seni pertunjukan tidak sepatutnya terpesona dengan nama besar seorang bintang pop, dan kemudian melibatkannya dalam pertunjukan tanpa kontrol kualitas yang memadai.  Sebaiknya ada sebuah ’standar’ kualitas yang jelas yang mesti dilalui oleh siapa pun yang akan terlibat dalam sebuah pertunjukan, termasuk oleh mereka yang sudah punya ‘nama besar’ di segmen pertunjukan lain.

Sebuah kelompok teater tidak pada tempatnya khawatir bahwa kalau tidak melibatkan ‘bintang pop’ tidak akan ada yang mau nonton.. Karena sejak awal, para penonton tetar sudah tahu, bahwa yang akan ditonton memang bukan ‘budaya pop’.. Kalau mau budaya pop, ya lihat TV saja, atau ke gedung bioskop..

(Teriring permintaan maaf untuk Cornelia Agatha dan ‘the Riantiarnos’, sekiranya tulisan ini tidak berkenan di hati.. Bagaimana pun juga, kami menikmati pertunjukan itu, dan Insya Allah akan nonton lagi kalau ada pertunjukan serupa..)


--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Pesan dan Komentar Anda di Sini