Ber(Cinta) Terakhir

Aroma kopi hitam tanpa gula terhirup kuat dari cangkir putih milik Brahma. Aku sengaja menyiapkan kopi pahit favoritnya, karena lima belas menit lagi ia akan sampai.

Brahma adalah suamiku, kami telah lima tahun menikah. Namun, rumah kami masih belum bising dengan suara tangisan anak kecil. Aku dan Brahma tidak terlalu menuntut bahkan tidak kecewa akan keadaan ini. Kami tetap bahagia dan sabar menanti datangnya masa membahagiakan itu suatu hari nanti.

“Tiiiiiinnn….!!”, suara klakson mobil Brahma masuk ke dalam garasi mungil rumah.

Aku segera bergegas membuka pintu rumah dan menyambut suamiku yang baru dinas dari Bandung selama tiga hari dua malam. Rasa rindu yang menggebu berseru di diri ini, seakan ditinggal oleh suamiku selama satu abad. Aku sangat mencintai suamiku yang sangat berwibawa dan tampan ini.

“Hai sayang.. Aku kangen sekali sama kamu. Bagaimana dengan pekerjaan kamu disana? Kamu pasti capek yah?”, tanyaku bertubi pada Brahma.

“Sayaaang, aku kangeeeenn juga sama kamu. Pekerjaan aku sudah beres disana”, jawab Brahma sambil mencium keningku dan memeluk tubuhku sambil masuk ke dalam rumah.

Aku segera menyuguhkan kopi hitam yang telah kusiapkan tadi pada Brahma dan duduk disampingnya sambil berbincang, mendengarkan cerita suamiku saat ia dinas di Bandung. Semakin hari rasa cintaku kepada suamiku bukan semakin memudar, tetapi dia selalu membuat hasrat cintaku semakin bertambah dan seperti selalu mulai jatuh cinta saat mengenalnya di bangku SMA. Brahma selalu menjadikan aku seperti perempuan yang istimewa dan spesial, aku merasa istri paling beruntung di dunia ini, memiliki suami seperti Brahma Artha Wirya.

*****

04 Oktober 2006.

Hari ini adalah Anniversary pernikahan kami yang kelima. Tepat di hari Sabtu (weekend) yang akan kuhabiskan waktu ini dengan suamiku. Kami tidak berencana pergi kemana pun. Aku hanya menyiapkan hidangan spesial untuk kami dinner di Sabtu malam nanti.

Make up natural dan gaun selutut berwarna abu-abu gelap yang sengaja kubeli kemarin sore telah siap dinikmati oleh suamiku. Ia memandangku dan tersenyum manis. Senyumnya tidak berubah, persis pada saat dia melamarku lima tahun yang lalu.

Setelan jas dengan kemeja berwarna abu-abu muda bernuansa casual melekat di tubuh Brahma yang proporsional. Pria dewasa yang nyaris sempurna ini memelukku dengan erat malam ini. Kami berdansa mengikuti alunan musik klasik favorit semasa SMA.

Malam ini hanyalah milik kami berdua, tidak ada yang boleh mengganggu malam spesial ini.

“I love you, Clara…”, bisik Brahma di telingaku saat kami sedang berdansa.

“I love you too, Brahma. Happy Anniversary, sayang.”, jawabku berbisik dan semakin memeluk erat tubuh suamiku.

“Aku mau kamu seutuhnya malam ini sayang, dan selamanya.”, Brahma mengangkat tubuhku dan membawaku ke kamar.

Suasana kamar kami seperti saat malam pertama setelah hari pernikahan kami lima tahun silam. Dihiasi dengan lampu tidur yang romantis dan aroma terapi yang menenangkan.

Aku dan Brahma melakukan hubungan suami istri selayaknya pasangan suami istri lainnya. Ini bukan kali pertamanya kami bercinta. Namun, Brahma melakukannya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Kami sangat menikmatinya. Hingga kami tertidur.

*****

“Aaaaaaaaarrrrggghhh……”, teriakan Brahma dari kamar mandi membangunkanku di Minggu pagi ini. Aku pun segera bergegas menghampiri suamiku yang terjatuh lemas di depan wastafel kamar mandi.

“Sayang… Kamu kenapaa??!!”, tanyaku panik sambil memeluk suamiku yang duduk lemas di lantai kamar mandi. Tidak lama kemudian Brahma tidak sadarkan dirinya.

Aku segera menghubungi ambulans agar membawanya segera ke rumah sakit.

Rumah Sakit.

Aku menunggu kabar dari dokter yang sedang memeriksa Brahma di depan ruang Gawat Darurat. Aroma kuat obat di rumah sakit ini mengingatkanku setahun yang lalu saat ibuku meninggal karena stroke. Rasa trauma itu masih terasa dibenakku. Aku tidak ingin kehilangan orang-orang yang kusayangi lagi.

Aku terus berdoa selama dua jam menunggu di lorong rumah sakit. Dokter yang memeriksa suamiku belum juga keluar dari ruang Gawat Darurat.

Pintu ruangan Gawat Darurat pun terbuka. Seorang suster dan dokter berpakaian putih dan rapi keluar dari pintu ruangan tersebut. Aku segera menghampiri mereka dan menanyakan keadaan suamiku.

Dokter segera menenangkanku dan mengajakku ke ruangannya.

“Ibu Clara, betul Anda istri dari Bapak Brahma Artha Wirya?”, tanya dokter kepadaku dengan wajahnya yang agak kaku tapi tetap tersenyum.

“Iya betul, Dok. Jadi apa yang terjadi dengan suami saya, Dokter?”, tanyaku penuh khawatir dan sangat menunggu jawaban dari dokter.

“Suami ibu mengidap penyakit Leukimia atau kanker darah. Penyakit ini sudah cukup lama dideritanya, tapi Pak Brahma sepertinya tidak pernah mengeluh dan mengabaikan rasa sakit yang dia rasakan selama ini. Suami ibu harus diberikan perawatan inap dan terapi di rumah sakit ini, sehingga bisa dilakukan pengobatan secara intens.”, jawab dokter menjelaskan padaku.

Aku sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Lututku pun terasa lemas meskipun aku sedang duduk. Air mata sudah tidak mampu lagi kubendung. Mengapa Brahma tidak pernah mengeluh dan menceritakan tentang penyakitnya selama ini. Mengapa dia tidak mengeluhkan padaku tentang apa yang ia rasakan saat merasakan rasa sakit yang dideritanya. Aku merasa telah menjadi istri terbodoh yang ada dunia, karena tidak tahu tentang masalah terberat suamiku.

Seminggu telah berlalu. Brahma masih berada dalam perawatan di rumah sakit. Setiap hari aku menjaganya di rumah sakit. Menyuapinya saat makan pagi, siang dan malam. Memberikannya obat yang telah disediakan dari rumah sakit, bahkan satu butir obat pun tak pernah tertinggal.

Suasana rumah sakit menghiasi hari-hariku dengan suamiku Brahma. Aku selalu berbincang tentang apa pun di kamar inap Brahma. Tersenyum dan tertawa bersama. Aku tidak pernah menangis dan bersedih di depan Brahma, setetes air mata pun tak pernah ada saat bersamanya. Semangat dan rasa percaya akan kesembuhan suamiku terus kutanamkan dalam benakku.

Kepalaku terasa berat sekali. Mataku berkunang-kunang saat menebus obat untuk Brahma. Aku sungguh tidak kuat menahan rasa ini. Sepertinya badanku akan ambruk dalam hitungan detik.

Saat terbangun. Aku sudah berada di kamar, di rumah sakit. Ibu mertuaku menjagaku di sofa sebelah kasurku.

“Maaahh…”, panggilku dengan suara rendah dan nyaris hilang.

“Clara, kamu sudah sadar? Tadi kamu pingsan, sayang. Mama khawatir kamu terlalu capek merawat Brahma, Nak. Besok kamu istirahat saja ya. Biar mama yang menjaga Brahma.”, jawab Ibu mertuaku panjang dengan nada khawatir.

Tidak lama kemudian, seorang dokter muda, cantik dan modis masuk ke ruangan. Sambil tersenyum, ia mengucapkan selamat kepadaku.

“Clara, selamat yaa. Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ibu. Kamu sedang mengandung, usia kandunganmu sudah sekitar seminggu lebih.”, senyum manis dokter cantik itu dengan kabar bahagianya.

“Terima kasih, Dokter.”, aku sudah tidak mampu berkata-kata. Rasa bahagia, haru dan sedih bercampur menjadi satu. Ini adalah anugerah yang selama ini aku dan Brahma tunggu. Kini impian kami datang.

*****

04 November 2006.

Kondisi Brahma tidak bertambah baik. Dokter memberitahukanku bahwa kondisi Brahma mengkhawatirkan. Usia kandunganku sudah genap sebulan. Aku berencana memberitahu kabar bahagia ini pada Brahma saat usia kandunganku genap sebulan.

Belum sampai kamar Brahma, dokter dan para suster berlarian mendahuluiku ke arah kamar Brahma. Lamunanku yang tidak jelas arahnya hilang seketika dan refleks aku ikut berlari mengikuti mereka. Tidak sempat aku masuk melewati pintu kamar Brahma, para suster menghalangiku dan tidak memperbolehkanku masuk ke dalam.

Aku hanya bisa menunggu dokter dan para suster keluar dari kamar Brahma. Lima belas menit berlalu, tidak lama kemudian suster Novita keluar dan langsung menghampiri tempat dudukku. Serentak aku berdiri, suster Novita langsung memelukku dan menangis kemudian minta maaf padaku. Aku sungguh tidak siap mendengar kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut suster Novita.

“Yaaaa Tuhaaaaannn…..”, aku berteriak dan menangis keras hingga bergema di satu lorong rumah sakit. Aku sudah tidak mampu berdiri lagi. Seluruh tubuhku lemas. Bahkan aku sudah tidak mampu masuk ke dalam kamar suamiku yang kini sudah tidak bernyawa lagi. Ini adalah pukulan terdahsyat yang Tuhan berikan padaku. Aku kehilangan belahan jiwaku. Suamiku tercinta. Kini dia pergi jauh meninggalkanku sendiri.

*****

04 Oktober 2013.

“Ayah… Kartika emang nggak pernah lihat wajah Ayah. Tapi tika selalu denger cerita Bunda tentang Ayah. Kata Bunda, Ayah adalah laki-laki terbaik di dunia. Tika bangga punya Ayah seperti Ayah Brahma. Bunda sayang bangeeeet sama Ayah, Tika juga sayaaaang bangeeet sama Ayah. Ayah baik-baik yaa di surga :)”

Kartika Artha Wirya

Aku dan Kartika berziarah bersama ke makam suamiku Brahma Artha Wirya. Kartika (anakku) menulis selembar surat kecil untuk ayahnya. Air mataku menetes saat membaca surat Kartika saat di makam Brahma. Kartika tumbuh berkembang tanpa seorang Ayah yang tampan dan gagah seperti Brahma. Tetapi, aku selalu meyakinkan diriku dan anakku bahwa Brahma selalu ada di dalam hati kami. Ia tetap hidup di hati kami. Brahma akan selalu hidup di hatiku.

Aku tetap mencintaimu, suamiku.

SELESAI

created : rr.putri sari sekar kenanga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Pesan dan Komentar Anda di Sini