Sisi Gelap Bisnis Waralaba (Franchise), Sebuah Kesaksian

1 dari 1 Kompasianer menilai bermanfaat

Saya punya kenalan, seorang pengusaha kecil yang mulai beranjak besar. Beberapa kali muncul di TV sebagai kisah sukses pengusaha kecil. Bisnisnya ada beberapa, tetapi sebagian besar berkaitan dengan makanan/restoran. Mulanya dia hanya seorang karyawan, tapi kemudian banting stir menjadi pengusaha karena bosan jadi ‘orang gajian’.

Sebagai orang yang sejak lama bercita-cita menjadi pengusaha –biar kecil tidak masalah, yang penting ‘pengusaha’ — saya tertarik untuk belajar dari kenalan saya itu, bagaimana caranya merintis usaha, juga usaha apa yang kira-kira prospeknya bagus alias menjanjikan keuntungan cukup tinggi.  Saya pun khusus menemui dan ‘menginterogasi’-nya..

Dia sampai pada kesimpulan, bahwa bisnis yang paling menguntungkan adalah bisnis waralaba, alias menjadi franchisor, atau yang menjual mereknya.  Untuk yang belum kenal dengan bisnis waralaba, mekanismenya kurang lebih demikian: (1) Kita buat satu merek toko/outlet tertentu, misalkan “X”, (2) Kita tawarkan ke orang lain untuk membuka toko/outlet dengan merek “X” (yang kita punya itu), tentu saja dengan membayar sejumlah uang sebagai fee.  Apa untungnya sehingga orang mau membayar untuk memakai merek “X”? Karena –per teori– dia tidak harus memulai usaha atau membangun merek dari nol, cukup dengan ‘meneruskan’ merek yang sudah dikenal orang, sehingga (diharapkan) keuntungan akan lebih mudah diperoleh.

Tentu saja saya tertarik, dan ingin tahu lebih banyak bagaimana menjalankan bisnis waralaba yang dibilang sangat menguntungkan itu.  Begini ceritanya..

Kata kenalan saya itu, untuk menjadi franchisor di Indonesia sangat mudah, karena syaratnya cukup punya satu outlet (setelah mengurus izin usaha, tentu saja).  Dengan kata lain, kita tidak benar-benar harus punya merek yang dikenal luas untuk bisa menjadi franchisor.  Jadi, bikin saja outlet di rumah, buat tampilannya bagus/menarik.  Tidak mahal, paling keluar uang Rp 3 jutaan, karena outlet itu juga tidak harus benar-benar outlet, yang penting terlihat seperti benar-benar outlet, bisa difoto dan hasilnya bagus/menarik.

Sampai di situ, saya masih belum bisa menangkap arah penjelasannya..

Kalau sudah punya outlet, atau tepatnya: foto outlet (plus izin usaha), maka kita bisa ikut pameran waralaba yang setiap tahun selalu ada, bahkan bisa sampai beberapa kali setahun.  Pameran itu biasanya dikelola dengan sangat ‘profesional’, menggunakan teknik pencitraan yang bagus sehingga terlihat bonafid. Dalam pameran waralaba itulah kita akan menjual merek kita, dengan bermodal foto outlet yang kita sudah siapkan itu tadi.  Biaya pameran memang tidak murah, bisa 10  -20 juta,  tapi jangan khawatir, modal akan segera kembali.  Biasanya sebuah merek yang tidak/belum terkenal bisa dijual minimal  Rp 20 jutaan kepada peminat (calon franchisee).

Memangnya ada yang mau beli? Kan merek kita belum terkenal?

Jangan khawatir, kata kenalan saya itu.  Kenyataannya, selalu ada yang membeli, paling tidak 5 (lima) orang.  Lima kali Rp 20 juta, sudah Rp 100 juta. Dikurangi biaya ikut pameran, plus biaya pembuatan outlet ‘abal-abal’ dan pengurusan izin usaha, katakanlah totalnya Rp 25 juta, kita sudah dapat untung Rp 75 juta.. Kalau setahun bisa ikut pameran 3 (tiga) kali saja, kita sudah akan menangguk keuntungan bersih Rp 225 juta.. Sama sekali tidak buruk, kan?

Bagaimana dengan kewajiban untuk ‘membina’ franchisee? Gampang, kata kenalan saya itu. Dua-tiga kali mereka kita fasilitasi untuk membeli bahan baku, plus beberapa resep (untuk bisnis makanan), atau kita ajarkan beberapa ketrampilan menjual yang sebenarnya ‘biasa-biasa’ saja.. Setelah itu, mereka (franchisee) juga akan jalan sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari kita (franchisor)..  Dengan kata lain, hubungan akan putus, dan kita bisa jualan lagi di pameran waralaba lain…

Saya kemudian jadi mengerti, bahwa yang dilakukan oleh kenalan saya itu (dan mungkin banyak orang lain, tentu saja tidak semua) adalah memanfaatkan longgarnya peraturan pemerintah tentang bisnis waralaba, plus ‘kebodohan’ orang-orang yang tidak cukup berani menggunakan merek sendiri sehingga mau membayar untuk sebuah merek yang sebenarnya tidak terkenal dan tidak jelas kontribusinya (merek itu) terhadap keuntungan usahanya.

Obrolan selesai, saya mengucapkan terima kasih kepada kenalan saya yang telah sudi membeberkan kiatnya sebagai pengusaha ’sukses’.. Tapi sampai sekarang saya belum ‘tega’ untuk mengikuti jejaknya berkiprah di bisnis waralaba dengan cara seperti itu..


--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Pesan dan Komentar Anda di Sini