Cinta untuk Angela yang Terlahir Tanpa Mahkota

Bidan Romana Tari /bidancare hadir untuk berbagi dan saling memperkaya informasi kaum perempuan dibidang kesehatan dan pengalaman sehari - hari dalam hidup. Bidancare hadir menjadi sahabat bagi perempuan dan keluarga. Semoga artikel di sini bermanfaat bagi kita semua. Kehadiranmu dan kehadiranku adalah kebahagiaan kita bersama. Mari hidup sehat dan kreatif dalam hidup bersama bidancare. salam hangat selalu

Kota Batu dengan aneka bunganya tak sedingin dulu lagi. Mungkin matahari semakin mendekatkan wajahnya ke muka bumi? Entahlah aku tidak peduli. Hanya satu hal yang aku peduli, menghitung hari. Membolak balik lembaran kalender. Sehari lagi genap lima bulan kehamilanku. Sedikit sekali sahabat dan saudaraku yang mau memberi dukungan untuk melanjutkan kehamilanku. Bahkan Cece  Yin sepertinya keberatan saat kukatakan aku ingin mencari dokter lain.

“Untuk apa ling – ling? Bukankah dokter Kiem sudah katakan bahwa dari hasil USG empat dimensi bayimu tidak sempurna. Kita semua sedih. Bila kamu biarkan bayimu lahir hingga cukup bulan, kamu lebih menderita. Apalagi kalau melihat keadaannya yang seperti itu ” Kata cece Yin sambil mengusap perutku.

” Tidak ce Yin, aku akan mempertahankan kehamilanku ini. Rencananya kami mencari dokter kandungan lain” Jawabku padanya. Hatiku hancur membayangkan bayi mungilku dilahirkan lebih cepat. Aku masuk ke kamar menumpahkan airmataku di atas bantal. Sesak terasa menggumpal di dada. Sudah dua kali aku mengalami keguguran sebelum kehamilan ini.

Tak lama kemudian, cece Yin masuk ke kamarku dengan membawa segelas susu hangat. Ia mengulurkan segelas susu ibu hamil yang masih hangat beraroma vanila. Ku minum sedikit sekedar menghargai perhatiannya. Kami duduk bersisian di tempat tidur. Cece Yin sudah seolah pengganti mama bagiku.

” Ling ling, ya sudah jangan menangis begitu, nanti dia ikut sedih. Aku doakan bayimu. Minumlah susu ini agar kamu lebih relaks” Kata cece Yin menghiburku.

“Ce, aku sangat mencintai bayiku ini, aku mencintainya,…sangat menginginkannya. Aku ingin menimang dan memeluknya, aku tak ingin membuatnya menderita “ Airmataku tumpah lagi untuk yang kesekian kalinya.

Ce Yin menunduk, airmatanya mengambang di pelupuk mata. Tapi ia segera berpaling keluar dari kamar. Ce Yin tak pernah menangis di depan kami. Dimataku dia sosok wanita yang ulet dan tegar. Hanya dia yang mampu melanjutkan usaha bisnis  bahan bangunan milik almarhum papa dan mama.

Aku beranjak dari kamar ketika waktu menjelang pukul dua belas siang. Saat melewati ruang doa, lukisan Dewi Kwan Im tersenyum lembut menatapku. Ia menjanjikan akan menjaga bayi dalam kandunganku. Kubasuh wajah dan membersihkan diriku dengan air. Kuhadapkan raga fana ini berlutut di altar pemujaan. Asap hio membubung dengan lantunan puja - puji pada Thi Kong dan Sang Budha. “Oh sang Dewi Kwan Im yang ku puja. Pandanglah aku yang nyaris putus asa. Berkati bayiku yang tiada sempurna ini dalam cahaya kemuliaanMu”

Sambil menunggu Koko Ming pulang bekerja, secangkir teh Lohankuo hangat beraroma bunga krisan menemani kesendirianku. Kuusap lembut perutku yang makin membesar dibalut daster merah maroon bermotif bunga – bunga. Alunan instrumentalia musik meditasi doa Taize mengalun lembut. Kaset musik itu hadiah dari Bruder Lie. Dia sepupuku yang jadi biarawan di pertapaan Karmel.

Halaman kami tidak berpagar. Berada di perbukitan puncak kota Batu. Nyaman dan teduh rasanya menikmati senja dengan pemandangan alam nan hijau. Memperhatikan kesibukan para petani sayur mayur yang sedang panen sawi dan wortel. Tak lama kemudian terdengar suara deru mobil Koko Ming memasuki halaman. Ia lalu menyusulku ke beranda ini seperti biasanya.

“ Kamu baik – baik saja sayang?” Koko Ming mengecup keningku. Koko Ming adalah suami yang selalu memberikan aku kekuatan dalam bertahan menghadapi cobaan ini.

Aku mengangguk dan tersenyum bahagia. Senyum paling indah yang hanya kuberikan untuk koko Ming pria yang kucintai seumur hidupku. Koko Ming duduk menemaniku. Sambil minum teh melepas lelah pulang bekerja. Ini kebiasaan yang kami sukai sejak awal menikah. Tak pernah kedengar Koko Ming berkeluh kesah. Meski aku tahu ia lelah membantu mertuaku mengurus usaha perkebunan apel dan buah naga.

“ Koko maafkan aku, aku belum bisa memberikan anak yang sempurna untukmu” kataku padanya.

“Sttt…jangan bilang begitu Ling, apapun keadaannya dia anak kita berdua.Tak ada yang perlu dimaafkan, ini cobaan buat kita” Jawab Koko Ming. Lalu koko Ming merengkuhku dalam pelukannya yang hangat. Tangannya mengusap lembut perutku yang sedang hamil. Bayi dalam kandunganku seolah mengerti ia sedang dimanjakan. Ia bergerak lincah. Koko Ming mengecupnya penuh perasaan. Energi cinta menyelimuti kami bertiga.

Minggu pagi. Aku berangkat ke Surabaya diantar Koko Ming. Kami menginap di Perumahan Green Garden. Ini rumah cece Vivi kakak perempuanku yang nomer dua. Cece Vi menganjurkan aku menemui Dokter Johan SpOG.

Saat aku bertemu dokter Johan, ia seperti sudah mengenalku lama.Beliau begitu ramah dan baik.

“ Ibu Ling ling, tak ada seorangpun di dunia ini yang berhak meniadakan kehidupan seorang bayi dalam kandungan kendati ia cacat. Tuhan telah menitipkan kehidupan dalam rahim ibu untuk dicintai. Bila kelak Tuhan mengambilnya, biarlah kehendakNya yang terjadi dan bukan kehendak kita”

Kata – kata dokter Johan sungguh menguatkan kami berdua. Selanjutnya setiap sebulan sekali kami rutin kontrol kehamilan ke Surabaya. Perasaan gundah mulai mengusik hatiku saat 42 minggu berlalu namun belum terasa juga tanda – tanda akan melahirkan.

“ Kita bantu dengan induksi infus drip ya bu, agar bayi ibu bisa segera dilahirkan. Kasihan terlalu lama dalam kandungan. Fungsi plasentanya sudah makin kurang baik” Kata dokter Johan.

“ Saya mengikuti keputusan terbaik dari dokter” Jawab suamiku.

Kami menandatangani persetujuan induksi. Koko Ming memelukku memberikan kekuatan.Ya aku harus kuat dan tabah melalui proses induksi infus drip ini. Aku diberi obat perangsang kontraksi dan opname di rumah sakit. Perjuanganku tidak mudah. Di ruang bersalin dua botol infus drip sudah masuk tetapi belum ada tanda – tanda akan melahirkan. Aku mulai putus asa. Dokter mengatakan infus dihentikan dulu dan aku dianjurkan istirahat di kamar. Besok pagi akan dievaluasi katanya.

“ Operasi Caesar saja Ko Ming, aku sudah tidak kuat lagi”, kataku pada suamiku. Hari itu bidan memindahkan aku di bangsal perawatan.

“ Sabarlah sayang, kamu pasti bisa melalui semua ini. Nanti sore aku akan ke Vihara Sanggar Agung di Kenjeran untuk mohon bantuan para Bhiksu mendoakanmu “ Kata koko Ming menenangkan hatiku.

Dalam kegelisahanku aku menghubungi sepupuku Bruder Lie, agar ia juga mendoakan aku menghadapi proses persalinan yang penuh perjuangan ini. Bruder Lie sangat sayang padaku sejak aku masih kecil. Dulu ketika kecil pernah belajar menyanyi lagu – lagu gereja dari Bruder Lie.

“ Ling, saya selalu bersamamu dalam doa. Jangan cemas, saya akan minta pada romo pimpinan biara untuk mendoakanmu dalam intensi misa sore nanti. Sekarang kamu mencoba untuk tenang dan pasrah. Tetap berdoa agar semua yang terjadi ini berjalan seperti kehendak Tuhan. Pasti semua akan berjalan baik dan lancar Ling” Kata – kata bruder Lie menyejukkan hatiku.

Menjelang senja, saat aku menikmati kiriman apple pie dari cece Vivi. Tiba - tiba aku merasa ada cairan putih jernih mengalir keluar dari rahimku. Mungkinkah ketubanku pecah?. Bidan membawaku ke ruang bersalin. Pembukaan empat kata bidan. Suamiku belum datang. Dia sedang ke Vihara Sanggar Agung di Kenjeran menemui para Bhiksu dan berdoa disana.

“ Bu Ling Ling, kemungkinan bayi akan lahir normal. Kontraksi dan pembukaan jalan lahir sudah cukup banyak kemajuan dibanding kemarin” Kata Bidan Yasinta. Syukurlah, aku yakin ini berkat doa para Bhiksu dan suamiku, juga doa Romo pimpinan pertapaan yang diminta khusus oleh Bruder Lie.

Menjelang malam, aku berhasil melahirkan putriku secara normal. Koko Ming mendampingi selama proses kelahiran yang ditangani langsung oleh dokter Johan. Tangisnya begitu keras, betapa terharunya saat bidan mendekatkan bayi itu padaku untuk kupeluk dan kucium. Oh Tuhan, tampaknya semua sempurna. Mungkinkah mukjizat telah terjadi pada keluarga kami?

Bayiku dibawa bidan ke ruangan perawatan khusus. Entah mengapa, aku masih tetap berharap ada keajaiban. Rasanya ingin bertanya pada dokter Johan apakah bayiku terlahir sempurna. Tetapi semua kata – kataku tercekat di kerongkongan. Seakan ada yang menyumbat. Tidak, aku tidak akan bertanya. Aku tahu jawabannya. Bayiku terlahir tanpa tulang tengkorak kepala bagian atas. Sebagian otaknya hanya tertutup selaput tipis. Diagnosa medis mengatakan Anensefalus.

Oh Tuhan,kasihan sekali bayiku dalam ketidak sempurnaannya. Wajahnya begitu cantik . Ia bercahaya seperti Dewi Kwan Im yang kupuja. Sungguh dia malaikat kecilku. Airmataku bercucuran deras mewakili semua pertanyaan yang tak terucap sepatah katapun. Dokter Johan menepuk pundakku dan mengatakan agar aku sabar. Suamiku memelukku dengan erat dan terus menerus menciumiku.

“ Ling sayang, terimakasih kamu telah berhasil berjuang melahirkan putri kita. Sungguh kamu ibu yang luarbiasa. Aku semakin mencintaimu” Koko Ming mengecup keningku.

“ Ko Ming,katakan pada bidan untuk membawa bayi itu kepadaku sebentar saja, aku ingin menyusuinya” Pintaku penuh harap. Koko Ming menemui bidan dan meminta bayi kami.

Aku gemetar saat menerima bayiku dari bidan. Tuhan,terimakasih, aku boleh melahirkan bayiku yang tiada sempurna ini. Maha Pencipta Engkau ya Tuhan. Kutatap wajah bayi mungilku yang sudah mengenakan topi khusus untuk pelindung kepalanya. Hati- hati aku memangku anakku. Dengan penuh kasih aku menyusuinya. Putriku kuberi nama Angela. Benar – benar menakjubkan. Angela menghisap ASIku dengan kuat dan tangannya seolah memeluk payudaraku. Sungguh ini keajaiban yang Maha Agung.

Angela mengerdipkan matanya dengan manja padaku. Aku memeluknya semakin erat. Angela tersenyum seolah berkata” Terimakasih Mama telah memberiku kesempatan menatap wajahmu”. Ku tegarkan hati untuk melihat kepalanya dan perlahan mengusap rambut Angela. Kuciumi tepi bagian yang tak sempurna itu dengan penuh cinta. Apapun keadaanmu kami meyayangmu Angela.

Hari ketiga Angela semakin tampak lemah, sorot matanya tak lagi berbinar. Ia mengalami kuning dan suhu tubuhnya mulai meningkat. Aku tahu Angela tak akan lama bersama kami. Bruder Lie khusus datang dari Malang menjengukku. Aku menangis sesenggukan saat bruder Lie memberkati dahi Angela keponakannya. Suamiku tahu bahwa Angela tak akan lama bersama kami. Ia sudah berjuang tiga hari untuk dapat membalas cinta kami.

Angela dibaringkan oleh bidan di boks bayi. Tak tega melihat tangan mungil Angela dipasang infus. Nafasnya kian tersengal – sengal walaupun dibantu oksigen. Akhirnya hari ke tiga Angela tertidur lelap selama- lamanya dalam pelukan Dewi Kwan Im. Aku merunduk untuk menciuminya berkali kali. Selamat jalan Angela. Kami mencintaimu selamanya. Angela tampak begitu cantik. Ia bermahkota bunga teratai mungil berwarna merah muda di sekeling kepalanya. Terbang semakin menjauh dari pandangan mataku. Terasa cahaya keemasan mengelilingiku..lalu semua begitu ringan aku seolah melayang ingin mengejarnya. Namun kurasakan tangan Koko Ming memelukku erat - erat. Airmatanya membasahi wajahku.

( Terinspirasi dari kisah nyata, Ibu hamil yang menolak pengguguran bayi cacat Anensefalus dan merelakan sharenya untuk diangkat dalam fiksi ini,Nama tempat dan tokoh fiktif )

Oleh Bidan Romana Tari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Pesan dan Komentar Anda di Sini